Endless Questions

Sebagai seorang pengangguran freelancer, gue banyak merenung dan berpikir banyak yang hal yang sudah kelewat dalam beberapa tahun. Sepertinya baru kemarin riweh-riweh contekkan untuk UN, eh, taunya mulai kuliah. Rasa-rasanya kemarin ini lagi seneng-senengnya lulus kuliah, tau-tau sudah kelewat dua tahun, nyaris tiga tahun malahan. Yang pacaran pindah status jadi menikah, dari seorang istri/suami pindah lagi jadi mommy/daddy. 

Ketika teman-teman perempuan menikah, terlintas di pikiran gue tentang siapa yang akan jadi bridesmaid ketika giliran gue mengucap janji didepan altar. Apa gue megang ekor gaun sendiri? Gimana kalo gue nanti kebelet buang air kecil? Rempong banget kan.

Setiap ada jadwal ketemuan, gue termasuk yang paling sering nongol, maka pertanyaan seperti "Kapan nyusul?", "Giliran lo kapan, tha?", "Masa lo jadi bridesmaid terus, yang megangin gaun lo siapa dong tar." nggak bisa dihindari. Reaksi gue pun ter-setting automatic, kalo nggak "Sponsorin ya." maka, "Iya, tar gue pegang sendiri ekornya". 

Setelah masa-masa pernikahan lewat, gue pikir gue bisa hidup tenang, aman lahir batin, jauh dari pertanyaan yang nggak ada ujungnya. Gue salah. Beberapa bulan kemudian, satu per satu teman mulai melahirkan junior-junior mereka, saat ini gue tau bahwa gue akan mulai bangkrut.
Demi mendoakan para bayi agar tidak seperti teman-teman gue (jangan pada protes, lo pada emang begitu kelakuannya), gue datang menjenguk bersama mami muda lainnya.

Pembahasan yang sering dibicarakan di acara temu kangen ataupun kunjungan ke rumah sakit tentunya seputar tetek dan bayi. Gue merasa tersesat, hilang arah, tak tahu jalan pulang dan jadi debu diantara mami muda. Saat inilah, pertanyaan itu kembali menyapa di telinga. "Tha, jadi kapan lo nyusul? Semua sudah punya anak, buruan lah nyusul". Lah, nyusul? Nikah atau nyuruh ke Bandung? Kalo lagi males ngejawab, gue akan tebar senyum paling indah yang kemudian pasti dimaki-maki, "Senyum lo membawa duka". Pernah sekali gue sedang rajin dan jawab perihal uang. Nikah itu mahal, kan, mahal gengsinya, kecuali orang tuanya punya duit yang nggak bakal abis tujuh turunan. 

"Duit mah bakal dateng sendiri kalo udah merit. Kan rejekinya jadi udah dua."
"Iya lu, duit mah nggak usah dipikirin, pasti ada jalannya."

Gue lelah, kan, tau gitu mending gue tebar senyum aja. Tapi gue tetap diam. Bukannya gue setuju dengan apa yang mereka bilang, lebih karena apapun yang nantinya keluar dari mulut gue adalah sesuatu yang jarang orang lain bisa mengerti. Ada banyak hal yang bikin gue meng-entar-kan nikah, salah satunya kepengen punya rumah dulu. Kedua, masih banyak hal yang pengen gue capai sebelum gue terikat dan berkewajiban sebagai seorang istri apalagi ibu. Ketiga, gue punya bayangan ideal bagaimana gue akan menikah nanti dan caranya bukan dengan menikah muda.

Ketika nanti gue menjadi seorang istri, gue ingin tetap bisa menghidupi hobby dari uang sendiri. Sewaktu anak gue butuh dongeng sebelum tidur, dia nggak butuh buku lagi  karena ibunya punya segudang cerita dari pengalaman. Ketika dia bingung memilih jalan hidupnya, maka gue akan menunjukkan pilihan apa yang dia punya, bukan memilihkan. Ketika dia mulai jatuh dalam jeratnya kegalauan putus cinta, gue, err, gue juga bingung pasti mau ngapain. Secara pengalaman patah hati cuma sekali, kalo berkali-kali nanti diomelin sama yang sekarang dong. Tapi ada satu yang pasti gue bilang ke anak gue, "Nakal boleh, bego jangan".

Mereka nggak ngerti atas pilihan gue itu terserah mereka, sama dengan gue yang nggak ngerti kenapa mereka pengen banget nikah muda. Tapi selama ini pun, gue nggak pernah bertanya dan memborbardir alasan mereka. 

Apakah jika gue nikah muda, gue akan hidup bahagia? Belom tentu. Mungkin aja gue malah kesel karena gue belom sempat melakukan apa yang gue pengen. Apakah keuangan gue akan membaik ketika nanti menikah? Belom tentu juga. Siapa yang bisa menjamin kebahagiaan orang lain? Jika kebahagiaan orang lain di jalan A, apa yang menjamin kita juga akan bahagia di jalan yang sama? 

Gue selalu menganggap hidup bukan balapan, siapa duluan adalah yang menang dan boleh bawa pulang piala. Jalan kita tadinya memang beriringan tapi gue memilih untuk belok dan berkeliling sebelum sampai di titik yang sama. Gue memilih rehat sebelum lanjut ke rute yang lebih panjang. Biar nanti saatnya, nggak ada lagi pertanyaan diawali kata andai yang menghantui pikiran.

Eh, btw, gue masih boleh ikut nongki-nongki, kan, walaupun belom punya anak? Guys... Guys, hello...

Komentar

Postingan Populer